Minggu siang di sebuah resto makanan Jepang favorit, sahabatku yang cantik berbagi kisah mengenai kehebohan baru di kantornya. ” Orang sekantor kompakan ngejodoin gue sama kolega yang duda udah punya cucu,” katanya. Si Mbak yang berusia 35 tahun ini memang sudah sering dicomblangin sana sini oleh teman-temannya. Maklum posisi bagus di kantor, wajah cantik, cerdas pula, tapi rupanya urusan jodoh emang rada seret. Berulangkali dia mencoba berelasi dengan lelaki dari berbagai usia, lajang maupun duda, tapi jarang yang berlangsung lama. Ada saja kisahnya yang seringkali membuat hatiku miris.
Tapi baru kali ini upaya perjodohan yang cukup membuatnya mati gaya di kantor. Bukan saja karena sampai sang direktur turun tangan memberi restu, tapi karena si kandidat yang sedang dijodohkan dengannya terpaut usia yang cukup jauh, bahkan sudah berstatus kakek. ” Gak tua-tua amat sih, baru 50, tapi emang nikah muda jadi udah punya cucu satu orang, ” kisah si Mbak.
Sahabatku sendiri sebetulnya tak keberatan dengan beda usia 15 tahun, status duda cerai plus kakek yang disandang sang kandidat. Hal yang membuatnya jengah hanyalah peran rekan-rekan sekantor serta atasannya di kantor lah yang dinilainya malah membuat si kakek dandy itu juga jadi salah tingkah ketika berhadapan dengannya. Walhasil tak ada pergerakan yang berarti untuk sebuah upaya pendekatan yang sudah dilakukannya hingga hari ini.
Berulangkali si Mbak bertanya pendapatku mengenai perjodohan ini, karena rupanya selain yang getol menjodohkan, beberapa pihak pun menyatakan keberatannya pada sahabatku itu bila harus menjadi istri si duda. Sama sepertiku, masih banyak orang yang menyayangkan bila seorang perempuan single seperti kami memilih laki-laki berstatus duda memiliki anak sebagai suami.
‘”Udahlah Mbak, gak usah dengerin pendapat orang, yang menjalani kan kita. Mereka gak pernah tau betapa sulitnya bagi perempuan-perempuan seperti kita untuk mencari seorang laki-laki yang memiliki chemistry yang sama, wawasan berpikir yang luas dan memberikan kenyamanan. They have no idea how hard we tried. Soal usia dan status itu hanyalah embel-embel, toh memilih seorang lelaki lajang pun bukan berarti bebas masalah, ” ujarku berusaha membesarkan hatinya.
Tapi memang harus kuakui bersama dengan seorang duda memang tak mudah.Butuh kebesaran hati, kelapangan dada, dan kesabaran ekstra untuk berelasi dengan seorang duda beranak dua dengan mantan istri yang akan selalu berebut perhatian.
Seandainya bisa mendikte Tuhan, aku pun akan meminta seorang laki-laki seperti kekasihku ini hanya saja dengan status masih lajang. Tapi logika dan hati memang seringkali tidak klop. Ketika hati bertaut dan logika harus dipaksa berkompromi, maka itu adalah sebuah keputusan yang kuambil dengan sadar. Hati ini sudah lelah mencari, tubuh ini sudah letih berjalan. Ingin kusandarkan kepala dalam dekapan hangat yang membuatku merasakan aman. Dan itu kutemukan pada dirinya, yang sayangnya sudah tak lajang lagi. Mungkin kematangan dan perjalanan hidup yang lebih panjang itulah yang membuatnya menjadi lelaki dewasa yang sanggup memberikan ketenangan.
Sebuah pergulatan panjang harus kulalui dan kuyakin tak akan pernah selesai. Aku sangat terharu atas komentar Bunda yang menyatakan kekagumannya atas keikhlasanku menerima takdir ini. Terima kasih Bunda atas apresiasinya, silahkan bila ingin melink-kan blog ini. Sejujurnya Bunda, aku masih berjuang untuk menjadi ikhlas sepenuhnya. Tulus menerima dirinya dengan sederet embel-embel yang tak akan pernah lepas seumur hidupnya, anak-anak dan mantan istri yang akan terus menghantui setiap langkah kami nantinya. Tak mudah meski bukan berarti tak bisa. Toh ada jutaan perempuan diluar sana yang menjalani takdir seperti ini dan mereka bisa melaluinya, kenapa aku tidak. Hanya memang diperlukan, ketabahan lebih dan kekuatan untuk mengelola emosi yang seringkali naik turun.
Aku juga tak luput dari rasa cemburu, ketika kekasihku sedang menghabiskan akhir pekan bersama anak-anak di rumah ibu suri misalnya, atau ketika mengintip friendsternya menyaksikan sederet foto perempuan yang terpajang disana,pose berdua di berbagai negara ataupun wajah-wajah perempuan yang tak kukenal terpajang sendirian dengan pose-pose cantiknya. Sedangkan fotoku hanya terpajang satu, itupun bersama rekan-rekan sekantor. Sesak sekali rasanya, menggelegak ingin marah. Tapi apa mau dikata, hingga saat ini aku memang belum dibolehkan tampil ke publik secara terbuka sebagai kekasihnya. Siapa aku mau ngatur-ngatur foto siapa yang mau dipajang di friendster nya ? Aku hanya si perempuan tanpa wajah yang (sementara) hanya boleh membisu.
Cemburu lain menghinggapiku rutin seminggu sekali tiap akhir pekan. ketika kekasihku sedang menghabiskan akhir pekan bersama anak-anak di rumah ibu suri. Aku tak pernah sekalipun menghalanginya untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Namanya ayah terhadap anak-anak,apalagi masih balita yang sedang lucu-lucunya, rasa rindu itu tentu tak terbendung.
Bila dulu bisa bertemu tiap hari meskipun sekejap di malam atau pagi hari, sekarang hanya seminggu sekali, tentulah menyiksa. Aku pun tak tega bila melihat matanya berkaca-kaca ketika bercerita tentang ulah si bungsu ataupun si cikal.
Tapi hati ini selalu resah bila akhir pekan tiba, dan dia berpamitan padaku untuk mengunjungi anak-anak dan si ibu. Membayangkan mereka bersama-sama di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, bermain bersama anak-anak, dan lebih menyayat hati bila dia memutuskan untuk menginap disana, dengan alasan si bungsu ingin tidur sama papanya. Meskipun aku percaya pada kejujurannya, tapi rasa cemburu itu seringkali tak bisa dicegah. ” Si bungsu apa ibunya yang minta tidur sama kamu,” pikiran jail seperti itu tak lepas dari kepala dan ujung-ujungnya membuat hati gundah.
Berbeda bila si ibu sedang berada di luar kota atau di luar negeri, aku malah mendorongnya untuk bersama anak-anak sesering mungkin.. Menemani anak-anak selama berhari-hari di rumah itu pun malah sangat kudukung, karena aku paham betapa berharganya waktu kebersamaan mereka. Dan aku pun merasa tenang tentram tanpa cemburu, karena tahu hanya anak-anak dan papanya saja yang ada di rumah.
Aku ingat dia pernah berjanji bahwa segera proses persidangan dimulai, dia tak akan menginap lagi di rumah itu. Memang sudah mulai terlihat ada perubahan pola, tapi menghabiskan akhir pekan disana rupanya masih belum bisa benar-benar diterapkan sesuai komitmen. Aku paham bahwa ada sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap, sehingga tak bisa langsung segera berubah dengan drastis. Tapi dia pun seringkali mulai nampak defensif ketika aku menyinggung hal ini. Akhirnya aku memilih untuk diam, biarkan saja waktu yang menjawabnya.
Aku pun mencoba bersikap fair, dengan menghargai upayanya untuk membuat batasan-batasan baru yang cukup tegas pada si ibu. Seperti sikapnya yang menolak untuk pergi berlibur bersama ke Bali pada masa liburan anak sekolah kemarin yang sudah diatur sedemikian rupa oleh si ibu untuk pergi bersama-sama seperti layaknya sebuah keluarga utuh.
Seandainya dia memilih untuk mengiyakan dan ikut serta berlibur bersama mereka, tentu aku pun akan berpikir ulang mengenai banyak hal. Karena itu akan menjadi cerminan bagaimana nanti rumah tangga kami akan dibina. Dimana posisiku akan diletakkan. Dan sejauh mana dia menghargai perasaan dan keberadaanku dalam hidupnya, serta menempatkan relasi kami dalam skala prioritas hidupnya.
Saat ini aku hanya bersikap sebagai observer yang pasif, dan hanya mencatat dalam hati setiap perkataan dan sikapnya tehadap suatu peristiwa yang berkaitan dengan anak-anak dan si ibu. Selama palu hakim belum diketuk, aku memang masih belum punya hak suara secara utuh. Hukum masih mengikat mereka sebagai suami istri, yang tentu saja akan menegasikan pendapatku sebagai seorang perempuan tanpa status.
Proses persidangan memang sudah hampir memasuki babak akhir. Saat ini sudah sampai pada kesimpulan dan keputusan hakim akan disampaikan dalam sidang dua minggu mendatang. Aku hanya berharap semoga semua seperti yang telah direncanakan.
Kasihan dia yang sudah begitu lelah, terkuras energi dan emosinya melalui proses yang menyakitkan ini. Untunglah ada si pengacara yang membuatnya tak harus selalu hadir di persidangan yang berlangsung hampir tiap minggu itu. Ganjalan memang terasa karena kebetulan hakim yang menangani perkara mereka adalah seorang anggota majelis gereja yang pada sidang awal sudah mengultimatum penggugat dan tergugat bahwa dirinya akan mempersulit proses perceraian ini.
Mungkin sebagai pemuka agama dirinya merasa terpanggil untuk mempertahankan tali pernikahan yang suci dimata Tuhan ini untuk tetap bersatu. Tapi bila kedua belah pihak telah berpaling dan tak ingin dipersatukan lagi, apakah hakim bisa memaksa sepasang manusia yang telah tak sejalan ini untuk terus bersama ?
Mudah-mudahan dengan semua fakta tentang perselingkuhan si ibu yang disampaikan oleh saksi-saksi di pengadilan cukup membukakan mata hakim bahwa palu nya harus diketuk untuk melepaskan kedua anak manusia ini menjalani kehidupan barunya masing-masing.Semoga drama berbabak-babak ini akan segera berakhir bahagia.