Palu itu nyaris diketuk..

August 26, 2008 - 14 Responses

Palu itu harusnya diketuk kemarin. Tapi mendadak diundur seminggu lagi, karena sang Hakim harus mengikuti pelatihan di luar kota. Rupanya Tuhan sedang ingin membuatku deg-degan semakin lama.

Tiba-tiba pula si bungsu sakit dan harus operasi. Mereka pun “terpaksa” harus akur kembali dan bersama-sama mengurusi si bungsu hingga tuntas pengobatannya. Aku pun semakin dagdigdug. Biasanya kebersamaan di saat-saat sulit kembali meretaskan rasa. Kedekatan yang pernah lekat, suka duka yang telah dilalui selama satu dekade pun bisa menyeruak memenuhi sudut-sudut ruang kenangan.

Mungkin ini hanya pikiran resahku saja. Semoga..

Tapi aku sudah menyerahkan hidupku pada-Nya. Biarlah Dia yang menentukannya untukku. Akankah kami ditakdirkan untuk bersama, ataukah mereka akan kembali bersatu demi anak-anak.. Tuhanku, aku hanya ingin yang terbaik untuk hidupku. Dan aku yakin hanya Engkaulah yang tahu jawabnya.

Hidupku sekarang..

August 11, 2008 - 6 Responses

Minggu siang di sebuah resto makanan Jepang favorit, sahabatku yang cantik berbagi kisah mengenai kehebohan baru di kantornya. ” Orang sekantor kompakan ngejodoin gue sama kolega yang duda udah punya cucu,” katanya. Si Mbak yang berusia 35 tahun ini memang sudah sering dicomblangin sana sini oleh teman-temannya. Maklum posisi bagus di kantor, wajah cantik, cerdas pula, tapi rupanya urusan jodoh emang rada seret. Berulangkali dia mencoba berelasi dengan lelaki dari berbagai usia, lajang maupun duda, tapi jarang yang berlangsung lama. Ada saja kisahnya yang seringkali membuat hatiku miris.

Tapi baru kali ini upaya perjodohan yang cukup membuatnya mati gaya di kantor. Bukan saja karena sampai sang direktur turun tangan memberi restu, tapi karena si kandidat yang sedang dijodohkan dengannya terpaut usia yang cukup jauh, bahkan sudah berstatus kakek. ” Gak tua-tua amat sih, baru 50, tapi emang nikah muda jadi udah punya cucu satu orang, ” kisah si Mbak.

Sahabatku sendiri sebetulnya tak keberatan dengan beda usia 15 tahun, status duda cerai plus kakek yang disandang sang kandidat. Hal yang membuatnya jengah hanyalah peran rekan-rekan sekantor serta atasannya di kantor lah yang dinilainya malah membuat si kakek dandy itu juga jadi salah tingkah ketika berhadapan dengannya. Walhasil tak ada pergerakan yang berarti untuk sebuah upaya pendekatan yang sudah dilakukannya hingga hari ini.

Berulangkali si Mbak bertanya pendapatku mengenai perjodohan ini, karena rupanya selain yang getol menjodohkan, beberapa pihak pun menyatakan keberatannya pada sahabatku itu bila harus menjadi istri si duda. Sama sepertiku, masih banyak orang yang menyayangkan bila seorang perempuan single seperti kami memilih laki-laki berstatus duda memiliki anak sebagai suami.

‘”Udahlah Mbak, gak usah dengerin pendapat orang, yang menjalani kan kita. Mereka gak pernah tau betapa sulitnya bagi perempuan-perempuan seperti kita untuk mencari seorang laki-laki yang memiliki chemistry yang sama, wawasan berpikir yang luas dan memberikan kenyamanan. They have no idea how hard we tried. Soal usia dan status itu hanyalah embel-embel, toh memilih seorang lelaki lajang pun bukan berarti bebas masalah, ” ujarku berusaha membesarkan hatinya.

Tapi memang harus kuakui bersama dengan seorang duda memang tak mudah.Butuh kebesaran hati, kelapangan dada, dan kesabaran ekstra untuk berelasi dengan seorang duda beranak dua dengan mantan istri yang akan selalu berebut perhatian.

Seandainya bisa mendikte Tuhan, aku pun akan meminta seorang laki-laki seperti kekasihku ini hanya saja dengan status masih lajang. Tapi logika dan hati memang seringkali tidak klop. Ketika hati bertaut dan logika harus dipaksa berkompromi, maka itu adalah sebuah keputusan yang kuambil dengan sadar. Hati ini sudah lelah mencari, tubuh ini sudah letih berjalan. Ingin kusandarkan kepala dalam dekapan hangat yang membuatku merasakan aman. Dan itu kutemukan pada dirinya, yang sayangnya sudah tak lajang lagi. Mungkin kematangan dan perjalanan hidup yang lebih panjang itulah yang membuatnya menjadi lelaki dewasa yang sanggup memberikan ketenangan.

Sebuah pergulatan panjang harus kulalui dan kuyakin tak akan pernah selesai. Aku sangat terharu atas komentar Bunda yang menyatakan kekagumannya atas keikhlasanku menerima takdir ini. Terima kasih Bunda atas apresiasinya, silahkan bila ingin melink-kan blog ini. Sejujurnya Bunda, aku masih berjuang untuk menjadi ikhlas sepenuhnya. Tulus menerima dirinya dengan sederet embel-embel yang tak akan pernah lepas seumur hidupnya, anak-anak dan mantan istri yang akan terus menghantui setiap langkah kami nantinya. Tak mudah meski bukan berarti tak bisa. Toh ada jutaan perempuan diluar sana yang menjalani takdir seperti ini dan mereka bisa melaluinya, kenapa aku tidak. Hanya memang diperlukan, ketabahan lebih dan kekuatan untuk mengelola emosi yang seringkali naik turun.

Aku juga tak luput dari rasa cemburu, ketika kekasihku sedang menghabiskan akhir pekan bersama anak-anak di rumah ibu suri misalnya, atau ketika mengintip friendsternya menyaksikan sederet foto perempuan yang terpajang disana,pose berdua di berbagai negara ataupun wajah-wajah perempuan yang tak kukenal terpajang sendirian dengan pose-pose cantiknya. Sedangkan fotoku hanya terpajang satu, itupun bersama rekan-rekan sekantor. Sesak sekali rasanya, menggelegak ingin marah. Tapi apa mau dikata, hingga saat ini aku memang belum dibolehkan tampil ke publik secara terbuka sebagai kekasihnya. Siapa aku mau ngatur-ngatur foto siapa yang mau dipajang di friendster nya ? Aku hanya si perempuan tanpa wajah yang (sementara) hanya boleh membisu.

Cemburu lain menghinggapiku rutin seminggu sekali tiap akhir pekan. ketika kekasihku sedang menghabiskan akhir pekan bersama anak-anak di rumah ibu suri. Aku tak pernah sekalipun menghalanginya untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Namanya ayah terhadap anak-anak,apalagi masih balita yang sedang lucu-lucunya, rasa rindu itu tentu tak terbendung.

Bila dulu bisa bertemu tiap hari meskipun sekejap di malam atau pagi hari, sekarang hanya seminggu sekali, tentulah menyiksa. Aku pun tak tega bila melihat matanya berkaca-kaca ketika bercerita tentang ulah si bungsu ataupun si cikal.

Tapi hati ini selalu resah bila akhir pekan tiba, dan dia berpamitan padaku untuk mengunjungi anak-anak dan si ibu. Membayangkan mereka bersama-sama di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, bermain bersama anak-anak, dan lebih menyayat hati bila dia memutuskan untuk menginap disana, dengan alasan si bungsu ingin tidur sama papanya. Meskipun aku percaya pada kejujurannya, tapi rasa cemburu itu seringkali tak bisa dicegah. ” Si bungsu apa ibunya yang minta tidur sama kamu,” pikiran jail seperti itu tak lepas dari kepala dan ujung-ujungnya membuat hati gundah.

Berbeda bila si ibu sedang berada di luar kota atau di luar negeri, aku malah mendorongnya untuk bersama anak-anak sesering mungkin.. Menemani anak-anak selama berhari-hari di rumah itu pun malah sangat kudukung, karena aku paham betapa berharganya waktu kebersamaan mereka. Dan aku pun merasa tenang tentram tanpa cemburu, karena tahu hanya anak-anak dan papanya saja yang ada di rumah.

Aku ingat dia pernah berjanji bahwa segera proses persidangan dimulai, dia tak akan menginap lagi di rumah itu. Memang sudah mulai terlihat ada perubahan pola, tapi menghabiskan akhir pekan disana rupanya masih belum bisa benar-benar diterapkan sesuai komitmen. Aku paham bahwa ada sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap, sehingga tak bisa langsung segera berubah dengan drastis. Tapi dia pun seringkali mulai nampak defensif ketika aku menyinggung hal ini. Akhirnya aku memilih untuk diam, biarkan saja waktu yang menjawabnya.

Aku pun mencoba bersikap fair, dengan menghargai upayanya untuk membuat batasan-batasan baru yang cukup tegas pada si ibu. Seperti sikapnya yang menolak untuk pergi berlibur bersama ke Bali pada masa liburan anak sekolah kemarin yang sudah diatur sedemikian rupa oleh si ibu untuk pergi bersama-sama seperti layaknya sebuah keluarga utuh.

Seandainya dia memilih untuk mengiyakan dan ikut serta berlibur bersama mereka, tentu aku pun akan berpikir ulang mengenai banyak hal. Karena itu akan menjadi cerminan bagaimana nanti rumah tangga kami akan dibina. Dimana posisiku akan diletakkan. Dan sejauh mana dia menghargai perasaan dan keberadaanku dalam hidupnya, serta menempatkan relasi kami dalam skala prioritas hidupnya.

Saat ini aku hanya bersikap sebagai observer yang pasif, dan hanya mencatat dalam hati setiap perkataan dan sikapnya tehadap suatu peristiwa yang berkaitan dengan anak-anak dan si ibu. Selama palu hakim belum diketuk, aku memang masih belum punya hak suara secara utuh. Hukum masih mengikat mereka sebagai suami istri, yang tentu saja akan menegasikan pendapatku sebagai seorang perempuan tanpa status.

Proses persidangan memang sudah hampir memasuki babak akhir. Saat ini sudah sampai pada kesimpulan dan keputusan hakim akan disampaikan dalam sidang dua minggu mendatang. Aku hanya berharap semoga semua seperti yang telah direncanakan.

Kasihan dia yang sudah begitu lelah, terkuras energi dan emosinya melalui proses yang menyakitkan ini. Untunglah ada si pengacara yang membuatnya tak harus selalu hadir di persidangan yang berlangsung hampir tiap minggu itu. Ganjalan memang terasa karena kebetulan hakim yang menangani perkara mereka adalah seorang anggota majelis gereja yang pada sidang awal sudah mengultimatum penggugat dan tergugat bahwa dirinya akan mempersulit proses perceraian ini.

Mungkin sebagai pemuka agama dirinya merasa terpanggil untuk mempertahankan tali pernikahan yang suci dimata Tuhan ini untuk tetap bersatu. Tapi bila kedua belah pihak telah berpaling dan tak ingin dipersatukan lagi, apakah hakim bisa memaksa sepasang manusia yang telah tak sejalan ini untuk terus bersama ?

Mudah-mudahan dengan semua fakta tentang perselingkuhan si ibu yang disampaikan oleh saksi-saksi di pengadilan cukup membukakan mata hakim bahwa palu nya harus diketuk untuk melepaskan kedua anak manusia ini menjalani kehidupan barunya masing-masing.Semoga drama berbabak-babak ini akan segera berakhir bahagia.

Selamat untukmu, aku kapan ya ?

June 30, 2008 - Leave a Response
Minggu pagi di sebuah masjid di seputar Senayan. Ini pernikahan ketiga bulan ini yang kuhadiri. Setiap minggu teman perempuanku menikah satu demi satu. Menyaksikan teman-teman yang (pernah) senasib berjuang mencari cinta di usia 30an itu,akhirnya berlabuh bersama lelaki pilihan mereka masing-masing sungguh membuatku terharu.
 
Teman yang pernikahannya kuhadiri hari ini, akhirnya memilih adik kelasnya semasa kuliah untuk menjadi suami. Perjuangan yang alot untuk mendapatkan restu sang bunda selama setahun terakhir ini akhirnya berakhir hari ini. Aku berbahagia untuknya.
Perempuan keturunan Arab, biasanya “harus” menikah dengan laki-laki keturunan Arab juga, itupun seringkali melalui mekanisme perjodohan yang diatur para tetua.
 
Hal itulah yang membuat temanku harus berjuang keras,karena sang adik kelas bukan keturunan Arab, kurang ganteng dan kurang kaya harta menurut ukuran ibunya. Tapi bila hati sudah bertaut, chemistry sudah melekat, apapun harus dilakukan untuk bersatu.
 
Tangisan, pertengkaran, dan perdebatan yang menyesakkan dengan sang bunda mewarnai hari-hari perjuangan temanku itu. Rencana pernikahan sempat nyaris batal. Aku hanya bisa menjadi pendengar setia untuk setiap curahan hatinya. Ikut deg-degan menyaksikan setiap scene dalam kisah percintaan dua anak manusia berbeda ras ini.
 
Perjuangan itu berakhir hari ini,ketika ijab kabul terlaksana. Mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Ikatan yang mereka ingin bangun bersama. Perjuangan baru pun dimulai,untuk mempertahankan mahligai ini sepanjang hayat, dan mengisinya dengan hari-hari penuh cinta dan kasih.
 
Aku turut bahagia untuk mereka.Mataku berkaca-kaca melihat mereka tersenyum di pelaminan. Teringat hari-hari penuh tangis dan pergulatan untuk menjaga asa itu tetap hidup.
 
Terselip tanya di hatiku. Kapankah senyum bahagia itu menjadi milikku ?

Sabar ya sayang..

June 25, 2008 - One Response

Lama sekali gak nulis disini lagi. Sebulan lebih kalau dilihat posting terakhirku. Hidupku lagi chaos memang. Naik turun, dengan gejolak emosi yang juga seperti roller coaster. Sidang pertama “mereka” sudah sebulan lalu. Seperti biasa, hakim menyarankan mereka untuk berdamai dan rujuk. Upaya mediasi pun dilakukan.

Proses yang sungguh membuatku kasihan padanya. Karena seperti kaset usang yang diputar ulang, dia harus membeberkan lagi dari A-Z kronologi kisruh rumah tangga mereka hingga sampai pada diajukannya gugatan. Melelahkan dan menguras emosinya. Semoga itu yang terakhir kalinya dia harus melakukan itu. Tak tega aku mendengarnya.

Sidang kedua akan dilakukan minggu depan. Tak harus hadir, karena sudah ada pengacara yang mewakilinya. Menurut pengacaranya, kemungkinan bulan Agustus sudah bisa selesai persidangan ini. Tentunya dengan ketok palu dari hakim yang memutuskan mereka resmi bercerai. Semoga saja tidak molor. Hanya aku belum tahu berapa lama surat cerai itu akan keluar dari catatan sipil setelah sidang memutuskan. I need the paper immediately to go to the next step, mengurus persiapan pernikahan ke gerejaku di Jogja.

Aku akan pindah kantor. Setelah bingung menentukan langkah akan kemana, akhirnya ada sebuah kantor baru dimana sahabat-sahabat lama bergabung yang menarikku untuk turut serta. Rasanya keputusan meninggalkan kantor lama sudah bulat. Kami butuh hidup baru. Dan lembaran baru ini dimulai dengan pekerjaan baru, sebelum status baru sebagai suami istri. Kekasihku pun sedang dalam proses interview dengan salah satu perusahaan multinasional. Mudah-mudahan dia pun segera mendapatkan tempat barunya. Berulangkali kubilang padanya, aku lebih suka serumah dengannya daripada sekantor.

Sebelum pindah ke kantor baru, aku ingin menghabiskan cuti tahunanku yang lama belum kuambil. Hari-hari ini merupakan saat-saat terakhirku di kantor yang sarat kenangan di tiap sudutnya itu. Minggu depan saat sidang keduanya berlangsung, aku sudah terbang ke Amerika sana, mengunjungi keluarga kakakku yang bermukim di New York. Biarlah kusisakan ruang extra untuknya menyelesaikan semua persoalan ini. Berharap pada saat kukembali nanti, palu hakim itu sudah resmi membebaskannya dari ikatan pernikahan yang sudah rapuh itu. Dan kami bisa segera melangkah membangun babak baru hidup kami.

Tak sabar rasanya untuk menemukannya disampingku ketika mata terbuka untuk pertama kalinya di pagi hari, setelah memeluknya sepanjang malam. Bercinta dengannya kapan pun upik mau. Menggoda si bobo dengan sebutan kesukaanku, my loly bobo. Merawatnya ketika dia sakit. Membuatkan kopinya tiap pagi, dan menyaksikan tubuh yang berkulit putih itu dibawah segarnya pancuran air setiap hari. 

Seringkali aku protes ketika dia mengantarku pulang setiap habis kami kencan. “Aku gak mau pulang,” rengekku persis gadis remaja. Rasanya ingin sekali kami bisa segera pulang ke rumah yang sama. Menyaksikannya tertidur lelap di sebelahku dalam damai. Menciumnya selamat malam, dan selamat pagi. Biasanya dia hanya tersenyum menanggapiku,”Sabar ya Sayang,” katanya.

Iya ya, sabar ya ..sedikit lagi kok, udah mau sampe 🙂

I dont know what to say, but I’m here for you

May 16, 2008 - 2 Responses

Wajahnya kusut masai ketika mampir ke ruanganku untuk numpang merokok seperti biasanya. Batik merah cerah yang dikenakannya tak mampu menyembunyikan kelelahan dan kegundahan hatinya. Hari ini memang membuatnya lelah secara mental. Hari yang diawali dengan sebuah momen yang tak terlupakan dan menyakitkan.

Pagi tadi surat perjanjian yang menyepakati pembagian harta gono gini dan pembagian hak asuh anak, akhirnya ditandatangani oleh kekasihku dan ibu suri. Proses panjang yang menguras energi dan emosi. Bolak-balik untuk merevisi banyak hal, hingga akhirnya dicapai sebuah kesepakatan oleh kedua belah pihak mengenai hal yang krusial dari sebuah perceraian. Read the rest of this entry »

berjalan dan bertahan…

April 30, 2008 - Leave a Response

berjalan diatas titian dibelah tujuh

gamang hampa melayang

tangan menggapai menerpa angin

memaksa diri terus melangkah

setapak demi setapak, maju terus maju

kadang badai datang menyergap

coba goyahkan tanah pijakan

adakah aku akan kalah ?

berat sungguh tapi aku harus kukuh

sang jiwa telah menjatuhkan pilihan

hanya berharap kekuatan untuk terus bertahan..

demi setitik asa di ujung senja..

New chapter, a metamorphosis

April 21, 2008 - 4 Responses

Perbincangan bersama Ndoro Kakung minggu lalu sungguh menginspirasiku untuk melakukan perubahan pada tampilan dan nafas blog ini. Sebelumnya aku menyampaikan keinginanku pada Ndoro, bahwa aku ingin menutup saja blog ini.

Terus terang saja, lama-lama aku gerah juga dengan berbagai komentar negatif di blog ini. Kalau hanya tudingan miring terkait dengan nama blog ku dan kisah-kisah yang ku posting sih nggak papa. Aku hanya ingin berbagi cerita, mau dibaca sukur nggak ya kebangetan hehehe. Nggak dink, maksudnya kalo soal suka atau ndak ya itu kan urusan selera. Ada banyak faktor yang membentuk pola pikir dan cara pandang seseorang tentang sesuatu, dan tentu saja itu juga pada akhirnya akan menentukan soal selera dan pendapat.

Orang-orang konservatif dan mainstream dengan jalan hidup yang lurus dan normal-normal saja tentu saja akan memandang negatif, rendah, dan menuding betapa amoralnya manusia-manusia seperti aku. Tapi orang-orang yang lebih berpikiran terbuka, atau memang pernah mengalami kejadian-kejadian besar yang tak biasa dalam hidupnya, mungkin akan lebih toleran dan bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah yang kupaparkan dan manusia-manusia yang menjalaninya sepertiku.

Read the rest of this entry »